Akunberita.id. Madinah di hari-hari itu sendu, karena purnamanya telah beberapa waktu tak terbit ke Masjid.
Shubuh itu, Sayyidina Abu Bakr Ash Shiddiq seperti telah diperintahkan sebelumnya maju mengimami kaum muslimin. Ketika shalat hendak dimulai, adalah Sayyidina ‘Abbas dan Sayyidina ‘Ali memapah sosok yang diringkihkan demam itu. Maka tetiba sergapan kebahagiaan menyusup ke dada semua orang dan mencerah-cahayai wajah mereka. Inilah Rasulullah ﷺ. Inilah Rasulullah kembali hadir di tengah-tengah mereka.
Menyadari junjungannya bergabung dalam barisan di shaff pertama meski sembari duduk, Abu Bakr memundurkan diri. Tapi Nabi mendorong kembali Abu Bakr untuk maju mengimami. Mentaati dorongan Rasulullah ﷺ, Abu Bakr maju sejenak sejauh tolakan tangan Sang Nabi. Tapi setarik nafas kemudian Ash Shiddiq mundur lagi. Demikian berulang hingga tiga kali.
Akhirnya Abu Bakr berundur lalu duduk di sebelah kanan Sang Nabi ﷺ, kemudian diberinya isyarat agar semua yang hadir shalat turut duduk. Demikianlah mereka memahami, sebab Sang Nabi yang akan mengimami shalat dalam keadaan duduk, merekapun bersembahyang dengan cara duduk.
Selesailah shalat itu dan Nabipun menanyai Ash Shiddiq. “Ya Aba Bakr”, sabda beliau sembari tersenyum meski wajah agungnya tampak pucat, “Telah kuperintahkan agar kau tetap menjadi imam, mengapa engkau mundur?”
“Ya Rasulallah”, jawab Abu Bakr sembari menunduk dengan bulir bening di matanya, “Lebih baik tanah di depanku terbelah lalu aku jatuh ke dalamnya, kemudian bumi menutup dan menghimpitku hingga binasa, daripada aku harus menjadi imam, sementara ada Baginda di belakangku.”
Andai dia tetap menjadi imampun, Abu Bakr sama sekali tidak bersalah. Dia akan ternilai sebagai orang yang mentaati Rasulullah ﷺ, satu ketaatan yang sebenarnya tak dapat ditawar sebab ia gambaran ketaatan kepada Allah. Namun Ash Shiddiq memilih adab.
Maka kita mendapatinya pada Ash Shiddiq, seorang yang oleh Rasulullah ﷺ dipersaksikan, “Andai iman seluruh manusia diletakkan pada satu anak timbangan, sedang iman Abu Bakr ditaruh pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakr lebih berat.”
Di mimbar Masjid Nabawi yang terataknya berundak tiga, dulu Rasulullah ﷺ berdiri di tingkat teratas setiap kali beliau berkhutbah. Ketika Sang Nabi wafat, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anh dengan adabnya yang tinggi tak berani berdiri di tempat kekasihnya itu dahulu bertegak. Beliau turun ke undakan kedua. Demikian pula ketika Ash-Shiddiq wafat, ‘Umar bin Khaththab merasa tak pantas setingkat dengan Abu Bakar. Maka Al Faruq turuh satu teratak lagi, beliau berkhutbah di undakan pertama.
Mari bayangkan apa yang akan terjadi jika semua pengganti merasa tak patut berdiri sederajat dengan pendahulunya ? Niscaya kian ke zaman kita, Khatib di Masjid Nabawi harus menggali berdepa-depa ke bawah demi menyesuaikan diri.
Maka inilah Sayyidina ‘Utsman bin Affan begitu menerima baiat kaum Muslimin untuk menjadi pengganti Khalifah ‘Umar sesudah kesyahidan Al-Faruq di mihrab, beliau menggenggam tongkatnya menuju mimbar. Ketika sampai di depan teratak, beliau berhenti sejenak kemudian bergumam dengan suara lirih yang dapat didengar sebagian hadirin. “Sungguh perkara ini akan berkepanjangan,” ujarnya. Lalu dengan memantapkan hati sang Dzun Nurain mendaki mimbar hingga ke puncak tertinggi. Dengan gemetar dia berdiri di tempat yang dahulu Rasulullah ﷺ bertegak di sana. Lalu dia pun berkhutbah.
Semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua, yang meneladankan pada kita adab dan taat pada tempatnya, dengan hati yang selalu berpadu dalam agamaNya